Petikan Pidato Ir. Soekarno 1952 (Pangan Rakjat Soal Hidoep ataoe Mati)

Saya diminta untuk meletakkan batu pertama dari Gedung Fakultas Pertanian  Universitas Indonesia. Permintaan itu Insya Allah nanti akan saya penuhi, tetapi sebelum itu, saya hendak menyampaikan beberapa kata lebih dahulu.

Dengan sengaja pidato saya ini saya tuliskan, agar supaya merupakan risalah yang nanti dapat dibaca dan dibaca lagi dan dibaca lagi oleh pemuda-pemudi kita, bukan saja dari sekolah tinggi ini, tetapi dari seluruh tanah air kita. Malah, sekarang pun saya mengarahkan kata kepada pemuda-pemudi di seluruh Indonesia itu. Sebab apa yang hendak saya katakan itu, adalah amat penting bagi kita, amat-penting bahkan ”mengenai soal mati-hidupnya” bangsa kita di kemudian hari. Karena itu, pidato saya ini agak panjang , dan peletakan batu pertama dari pada Gedung Fakultas Pertanian tak dapat kulakukan pada saat yang dirancangkan.

Ya, pidato saya ini mengenai hidup mati bangsa kita di kemudian hari. Oleh karena soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat. Cukupkah persediaan makanan rakyat kita di kemudian hari? Kalau tidak, bagaimana caranya menambah persediaan makanan rakyat itu? Peristiwa sebagai yang kita hadiri sekarang ini, ialah peletakan batu pertama dari pada suatu sekolah tinggi pertanian, adalah suatu kesempatan yang baik untuk menyampaikan kata-kata langsung kepada pemuda-pemudi, yang dalam tangan merekalah mati-hidupnya bangsa kita di kemudian hari.

Pemuda-pemudi! Engkau sekarang hidup dalam satu zaman yang penuh dengan soal-soal, satu zaman yang penuh dengan problem. Salah satu dari pada problem-problem itu ialah problem makanan rakyat. Engkau telah mengalami sendiri; di waktu akhir-akhir ini surat kabar-surat kabar dan tuturan di kampung-kampung penuh dengan kata-kata; harga beras naik gila-gilaan, di sana-sini ada mengancam bahaya kelaparan, di desa ini dan di desa itu ada orang makan bonggol pisang, di daerah itu dan di daerah sana ada terdapat hoongeroedeem, di dukuh anu ada orang bunuh diri karena tak mampu memberi makan kepada anak-isterinya, dan lain-lain tuturan sebagainya lagi.

Dan sebagaimana biasa, selalu ada saja seorang yang dikambinghitamkan yang harus memikul segala kesalahan, atau segerombolan orang-orang yang dikambinghitamkan, karena disangka telah berbuat segala kesalahan. Terutama sekali orang-orang yang duduk dalam badan-badan pemerintahan harus bersedia menjadi kambing hitam itu, yang di atas kepalanya diturunkan segala hujan-hujan tuduhan yang segar-segar, yakni harus bersedia dijadikan orang yang selalu dihantam, yang kepalanya seperti ”kop van jut”.

Siapa yang sebenarnya salah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita selidiki beberapa kenyataan yang mengenai persediaan beras.
Menurut statistik 1940, bangsa kita di dalam satu tahun itu rata-rata, dus tiap-tiap orang, memakan 86 kg beras. Ini belum terhitung jagung, belum terhitung ubi kayu, ubi jalar, kacang-kacang dan lain-lain sebagainya.

Kalau kita memakai angka tahun 1940 itu sebagai dasar berapa beraskah yang kita butuhkan untuk sekarang? Sekarang jumlah rakyat kita ialah 75.000.000 jiwa. Maka beras yang kita butuhkan untuk memberi tiap-tiap orang 86 kg beras setahun ialah: 75.000.000 x 86 kg = 6.450.000.000 kg atau dengan sebutan lain: 6,45 milyun (juta) ton yang kita butuhkan. Sekali lagi, yang kita butuhkan sekarang. Tetapi berapa persediaan beras kita sekarang? Artinya berapa produksi sawah-sawah ladang kita kalau dibandingkan dengan tahun 1940 tidak mundur, tetapi jumlah itu toh tidak mencukupi kebutuhan: hasil padi kita setahunnya sekarang hanya 5,5 milyun ton lebih sedikit. Padahal kebutuhan hampir 6,5 milyun ton. Itulah sebabnya kita kekurangan beras. Itulah sebabnya kita tiap-tiap tahun harus membeli beras dari luar. Dari Siam, dari Saigon, dari Birma. Ini tahun saja kita harus mencari beras 700.000 ton, atau 700.000,000 kg. Dan ketekoran kita makin lama makin bertambah.

Engkau mengetahui bangsa kita selalu bertambah jumlahnya. Di tahun-tahun yang akhir ini di tanah air kita tiap-tiap tahunnya dilahirkan bayi 2.000.000 orang dan di tiap-tiap tahunnya meninggal dunia 1.200.000 orang. Sekarang. Tidak lama lagi tambahnya penduduk Indonesia tiap tahunnya bukan 800.000 orang, tetapi 1.000.000 orang. Dan tidak lama lagi 1.000.000 orang ini menjadi 1,5 milyun orang, 1,75 milyun orang, 2 milyun orang.

Tambahnya penduduk amat cepat, tetapi tambahnya produksi beras amat pelan. Maka tiap-tiap tahun , met de reglmaat van een klok, tiap-tiap tahun, zonder ampun , tiap-tiap tahun mau tidak mau, mengaduh atau tidak mengaduh, kita menghadapi problem kekurangan beras, besok lagi 1.000.000 ton.

Itupun kalau kita setiap orangnya makan sekedar sebanyak makanan kita sekarang, dan tidak lebih. Padahal belum cukup makanan kita sekarang ini per orangnya, untuk bisa menjadi satu-bangsa yang sehat dan kuat.

Mari saya ambil angka-angka tahun 1940. Di dalam tahun itu jumlah makanan di Indonesia, kalau dibagi rata-rata antara rakyatnya, menjadi 86 kg beras per orang, 38 kg jagung, 162 kg ubi kayu, 30 kg ubi jalar.
Bilamana angka-angka ini diperhitungkan dalam nilai kalori, maka jumlah kalori yang dimakan oleh satu orang setahun  ialah 624.960 atau 1.712 kalori seorang sehari. Dus kalau kita sudah senang dengan 1.712 (bundaran 1.700) kalori seorang sehari saja, kita sudah menghadapi tekor beras tiap tahun sekarang 700.000 ton, nanti 800.000 ton, nanti lagi 1.000.000 ton.

Sudahkah kita senang dengan 1.700 kalori seorang sehari sebagai dalam tahun 1940 itu? Kemarin dulu aku suruh menanya kepada Dr. Purwosudarmo, sekretaris Panitia Negara Perbaikan Makanan, berapa kalori dimakan oleh bangsa Indonesia seorang sehari sekarang, dan berapa kalori seharusnya untuk menjadi satu bangsa yang sehat dan kuat. Beliau menjawab 1850 kalori seorang sehari sekarang, dan harus dijadikan 2250 kalori seorang sehari di kemudian hari. Maka akan mulai menghitung. Aku mengambil misalnya tahun 1960, yaitu 8 tahun lagi dari sekarang. Tidak lama 8 tahun itu, yaitu sekedar satu jumlah tahun yang engkau butuhkan untuk menjadi pemuda-pemudi praktis dalam masyarakat. 1960!. Aku taksir jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu lebih kurang 83.000.000 jiwa yaitu 8.000.000 lebih dari pada sekarang. 8.000.000 orang ini harus juga kita beri makan. Maka marilah menghitung. Tadi telah kukatakan,bahwa tahun 1940 orang satu tahun memakan 624.960 kalori, yaitu 1712 satu orang satu hari. Kalau banyaknya kalori buat satu orang satu tahun kita biarkan sekian saja – yaitu 624.900 – tidak kita tambah – makan buat 8.000.000 orang itu harus kita adakan persediaan kalori 8.000.000 x 624.960 kalori = lebih kurang 5.000.000.000.000 kalori. Berapa beraskah ini? Ketahuilah: 100 gram beras merupakan 340 kalori. Maka engkau hitung, engkau akan mendapat 5.000.000 milyun kalori itu berarti lebih kurang 1.500.000 milyun gram beras, atau lebih kurang 1.500 milyun kg beras.

Coba pikirkan. Sekarang saja sudah tekor 0,7 milyun ton beras. Didalam tahun 1960 akan tekor 0,7 milyun ton beras + 1,5 milyun beras = 2,2 milyun ton beras. Itupun kalau kalori makanan rakyat kita perbiarkan pada 1.712 kalori seorang sehari. Panitia Perbaikan Makanan minta 2.250 kalori seorang sehari. Engkau barangkali ingin mengetahui angka-angka kalori makan rakyat di negeri-negeri lain?

Perhatikan, menurut perhitungan Food and Agriculture Organization, orang makan tiap hari; di India 2.121 kalori, di Birma 2.348 kalori, di Cuba 2.918 kalori, di Malaya 2.337 kalori, di Ceylon 2.167 kalori, di IndoCina 2.137 kalori, semuanya lebih banyak dari pada Indonesia. Di dalam angka-angka itu dimasukkan juga kalori dari bahan-bahan gajih (lemak). Berapa kalori yang dimakan orang kulit putih? Di Negeri Belanda setiap orang makan 2.958 kalori, di Australia 3.128 kalori, di Amerika 3.249 kalori.

Pemuda-pemuda Indonesia – apakah engkau perbiarkan bangsamu hidup dari lebih kurang 1.700 kalori seorang sehari? Tidak? Engkau ingin cita-cita Panitia Negara Perbaikan Makanan terlaksana? Dus 2.250 kalori seorang sehari? Hitunglah sendiri, kalau begitu, berapa jumlah beras kita harus tambahkan kepada persediaan makanan rakyat, buat tahun 1960, yang berpenduduk 83.000.000 jiwa itu.

Mari kita hitung: 2.250 kalori seorang sehari, dua 550 kalori lebih dari pada sekarang. Buat 75.000.000 penduduk yang sekarang sudah itu saja , ini berarti minta tambahan kalori 75 milyun x 550 x 365 (1 tahun = 365 hari) = lebih kurang 15.000.000 milyun kalori. Total kalori yang harus ditambah dus, 15.000.000 milyun kalori + 6.500.000 milyun kalori = 21.500.000 milyun kalori.

Dihitung dalam beras, 100 gram beras = 340 kalori, ini berarti 100/340 x 21.500.000 milyun gram beras = 6.300.000 milyun gram beras = 6,3 milyun ton. Menjadi : kalau kita mengingini bangsa kita dalam tahun 1960 makan 2.250 kalori, seorang sehari, maka produksi makanan kita harus kita tambah dengan 6,3 milyun ton setahun, dalam bentuk beras, atau equivalentnya beras. Bagaimana kalau kita beri bentuk lain dari pada beras? Malah lebih lagi dari 6,3 milyun ton. Dalam bentuk jagung 6,3 milyun ton itu menjadi lebih kurang 7 milyun ton. Dalam bentuk ubi jalar lebih kurang 15 milyun ton. Dan dalam bentuk ubi kayupun lebih kurang 15 milyun ton.

Dan kalau tidak kita tambah produksi? Kalau tidak kita tambah produksi, maka tiap-tiap orang akan makan lebih kurang 1547 kalori saja, Maka banyak orang akan kelaparan. Maka keadaan kita akan makin kocar-kacir. Maka kejadian-kejadian yang menyedihkan yang telah kita alami sekarang ini akan terjadi terus-menerus secara permanent, bahkan permanent in het kwadraat dan menyedihkan in het kwadraat : hongerroedeem akan terdapat dimana-mana: penyakit lain akan menjalar karena badan lebih kekurangan resistensi; keamanan akan terganggu terus-menerus tiada putusnya; orang akan bunuh-membunuh perkara beras; prestasi kerja akan merosot serendah-rendahnya; mala petaka kebinasaan akan menjadi hantu yang bersinggah di milyunan rumah.

Mengertikan engkau, bahwa kita sekarang ini menghadapi satu bayangan hari kemudian yang amat ngeri. Bahkan satu todongan pistol ”mau hidup ataukah matu mati”.

Satu tekanan tugas ”to be or not to be”. Di dalam tahun 1960 nanti tekor kita sudah akan 6,3 milyun ton, berapa milyun ton nanti dalam tahun 1970 kalau pendudk kita sudah menjadi 90-95 juta dan berapa lagi dalam tahun 1980 kalau penduduk kita lebih dari 100 juta?

Engkau, pemuda-pemudi, engkau terutama sekali harus menjawab pertanyaan itu, sebab hari-kemudian adalah harimu, alam-kemudian adalah alam mu bukan alam kami kaum tua yang vroeg of laat akan dipanggil pulang ke Rahmatullah. Engkau tidak dapat memecahkan soal ini sekedar dengan sinisme, seperti sikapnya setengah pemimpin-pemimpin di waktu sekarang, yang hanya bisa menuduh, hanya bisa mencela, hanya bisa mencari dan mendapatkan orang-orang yang dicapnya kambing hitam, dan dititiri kepalanya sebagai kop van jut.

Tidak, soal makanan rakyat ini tidak dapat dipecahkan dengan sinisme, dengan sekedar menuduh, dengan sekedar mencemooh. Sebab kesulitan soal ini terletak objektif kepada ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi, antara persediaan yang ada dan jumlah mulut yang memakannya, dan tidak subjektif karena durhakanya sesuatu orang. Tiap tahun zonder kecuali, zonder pauze, zonder ampun, soal beras ini akan datang – dan akan datang crescendo – makin lama makin hebat – makin lama makin sengit – makin lama makin ngeri, selama tambahnya penduduk yang cepat itu tidak kita imbangi dengan tambahnya persediaan bahan makanan yang cepat pula.

Maka, pemuda-pemudi, dapatkan persediaan bahan makanan itu kita tambah? Persediaan bahan makanan itu dapat kita tambah, tetapi tidak sekedar sinisme, tidak sekedar ”main politik”, melainkan dengan bekerja keras atas dasar mengerti jalan-jalannya memecahkan problem yang sulit ini.

Persediaan bahan makanan itu dapat kita tambah:

Pertama, dengan berikhtiar memperluas daerah pertanian kita. Kedua, dengan menggiatkan (mengintensifir) usaha pertanian kita, khususnya dengan seleksi dan pemupukan.

Dua jalan ini harus kita tempuh. Mari kita kupas sekedarnya. Kemungkinan memperluas daerah pertanian kita – artinya: menambah luasnya sawah-sawah kita dan ladang-ladang kita – masing mungkin, tetapi janganlah orang kira kemungkinan itu tiada batasnya. Di Jawa kemungkinan itu  hampir tidak ada lagi. Di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, di Seram, dan lain-lain pulau lagi; kemungkinan itu masih ada tetapi janganlah orang mengira bahwa tiap tempat yang sekarang ini tertutup hutan, atau tiap tempat yang masih kosong, adalah baik buat pertanian.

Ya Sumatera dan Kalimantan penuh dengan rimba-rimba raya yang amat luas, rimba-rimbahnya yang luasnya ”pitung pandeleng” – tetapi hanya sebagian saja dari rimba-rimba itu tanahnya baik buat bercocok tanam. Penyelidikan Balai Penyelidikan Tanah (Bodemkundig Instituut) sementara menunjukkan angka-angka sebagai berikut:

Luas Sumatera                       47.360.000 ha
Luas Kalimantan                   53.960.000 ha
Luas Sulawesi                       18.900.000 ha
Luas Irian kita                       38.000.000 ha
Jumlah luas empat pulau ini 158.210.000 ha

Berapa ha dari 150.000.000 ha ini yang baik buat pertanian? Ternyata sebagian besar dari tanah-tanah itu, dengan pandangan selayang pandang saja, terang tidak memberi harapan baik buat pertanian, ialah oleh karena kwalitet tanahnya, bentuk topografinya, keadaan hidrologinya (keadaan airnya) tidak sesuai dengan syarat-syarat pertanian. Maka dengan mengecualikan tanah-tanah yang dengan selayang pandang saja, sudah nyata tidak baik bagi pertanian itu, telah dipetakan atau sekedar ditinjau sejumlah tanah di Sumatera 5.359.000 ha, di Kalimantan kita 740.000 ha, Sulawesi 669.000 ha, di Irian kita 965.000 ha, – total 7.733.000 ha.
Tetapi dari 7.733.000 ha, inipun ternyata tidak semua betul-betul baik bagi pertanian. Yang betul-betul baik ternyata hanyalah sedikit lebih dari 1.000.000 ha atau hanya 14 %.

Memang ada lagi, di samping tanah-tanah tersebut, sejumlah tanah gambut (veengronden) yang luasnya bermilyun ha, yang sampai kini belum diusahakan untuk pertanian, dan mungkin dapat dipakai untuk pertanian.
Tetapi di Indonesia ini tanah-tanah gambut itu masih sama sekali satu hal yang belum diselidiki kemungkinan-kemungkinannya – satu ”terra incognita” yang masih gelap bagi kita, meskipun di Amerika dan Eropah orang sudah mencapai hasil pertanian yang baik di atas tanah-tanah yang demikian itu.

Alhasil, luasnya daerah pertanian di Indonesia ini masih dapat ditambah lagi dengan sedikitnya 1 juta ha, kalau tidak 1,5 juta ha, atau barangkali dengan 2 juta ha. Tanah-tanah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian itu memang menunggu transmigrasi-transmigrasi kita, menunggu pacul dan bajak, traktor-traktor dan mesin-mesin pengetam padi; menunggu pekerja-pekerja yang di bawah pimpinan pemuda-pemudi kita, bersama-sama dengan mereka membanting tulang dan mengulurkan urat, mencucurkan keringat habis-habisan, sesuai dengan Firman Tuhan ”Innamal usri yusra” – in het zweet, uws aanschijns gij uw broad verdinen”.

Kecuali dengan memperluas daerah pertanian-pertanian kita, maka sebagai kukatakan tadi, harus ditempuh pula jalan lain untuk menambah persediaan makanan kita. Jalan lain itu ialah mengintensifir usaha pertanian kita, khusus dengan seleksi dan pemupukan. Jalan lain ini – malahan harus kita usahakan pula benar-benar. Oleh karena kemungkinan untuk menambah luasnya daerah sawah kita, – perhatikan: sawah artinya sawah basah! – adalah terbatas sekali. Sawah berarti air, ada air memang tidak selalu ada untuk pengairan yang sempurna. Luas sawah di Indonesia sekarang ini adalah 4,5 milyun ha, antaranya 3.384.000 ha di pulau Jawa. Di Jawa di antara tahun 1931 dan 1940 luasnya sawah hanyalah bertambah dengan 100.000 ha atau tak lebih dari 3 %, dan saya kira maximumnya memang sudah hampir tercapai.

Mengintensifir pertanian kita, itulah amat penting. Perhatikan misalnya hasil baik yang telah kita capai dengan usaha seleksi di lapangan padi basah. Dulu kita belum kenal dengan jenis padi basah yang sekarang kita namakan Bengawan. Tetap berkat usaha ilmu pertanian, dengan jalan kawin-mengawinkan bermacam-macam jenis, akhirnya terdapatlah satu jenis yang dinamakan padi Bengawan, yang betul-betul padi yang ”all-round” terhadap penyakit mentek, ia punya kwalitet beras adalah baik, ia punya nasi enak sekali rasanya dimakan, ia punya jumlah produksi lebih tinggi dari pada padi yang kita kenal sebelum itu. Ia memberi hasil-hasil rata-rata 8 kwintal padi sehektarnya, atau 4,5 kwintal beras sehektarnya. Berapa luasnya sawah yang sudah nyata dapat ditanami padi Bengawan?
Jumlah ini menurut penyelidikan ialah 1.000.000 ha. Di samping itu masih ada lagi sejumlah sawah 1.000.000 ha yang dapat ditanami dengan satu jenis lain, yang juga banyak produksinya, meskipun tidak sebanyak pada Bengawan itu. Maka menurut perhitungan, dengan cara menanam padi hasil-hasil seleksi itu saja kita akan dapat memperoleh tambahan produksi 1.080.000 ton padi, atau 600.000 ton beras, satu jumlah yang amat lumayan sekali.

Tetapi kenyataan tidak semudah itu. Kenyataan yang menjadi hambatan ialah bahwa pada umumnya sesuatu jenis padi mempunyai daya menyesuaikan diri – yang amat kecil – mempunyai aanpassingsvermogen yang amat kecil.
Jenis-jenis yang memuaskan di sesuatu daerah belum tentu memuaskan bila ditanam di suatu daerah yang lain.  Jenis padi harus di ”perdaerahkan” lebih dulu. Sebelum padi Bengawan itu bisa disiarkan di seluruh kepulauan Indonesia, maka perlulah lebih dulu didirikan balai-balai seleksi daerah di berpuluh-puluh tempat. Dan di samping pusat-pusat penyelidikan daerah itu, maka haruslah pula diadakan organisasi untuk menyebarkan hasil-hasil dari pusat-pusat penyelidikan daerah itu langsung kepada petani-petani.
Dibutuhkan pusat-pusat bibit setempat – zaadltoeve-zaadhoeve – yang masing-masing meliputi keluasan 10.000 ha atau 15.000 ha sawah. Petani-petani harus dibangunkan perhatiannya oleh pusat-pusat ini, harus diinsyafkan, di ”semangatkan”.

Dengan propaganda, dengan penyuluh, dengan demontrasi, petani-petani harus dilepaskan dari jenis-jenis padi yang kurang manfaat, dibawa kepada jenis-jenis baru yang lebih baik. Ini semuanya bukan pekerjaan kecil.

Ini semuanya meminta waktu dan ini semuanya meminta keringat. Jumlah pusat-pusat yang demikian itu pada masa sekarang ini masih amat terbatas sekali. Padahal paling sedikit dibutuhkan 250 pusat – setempat, kalau bisa 300 pusat setempat. Kalau kita bekerja keras, maka boleh diharapkan bahwa dalam waktu lebih kurang 6 tahun dengan jalan demikian, sesuatu jenis yang baik dapat disebarkan antara petani-petani di seluruh Indonesia, sehingga produksi padi di seluruh Indonesia bertambah banyak. Insyaflah engkau, pemuda-pemudi, betapa pentingnya minat kepada pengetahuan pertanian bagi bangsa yang kekurangan makanan sebagai kita ini.

Disamping seleksi, aku tadi menyebutkan pemupukan, Juga dengan pemupukan kita dapat menambah produksi padi-padi basah kita. Terutama sekali pemupukan dengan pupuk tiruan (kunstmst) fosfaat, dalam bentuk dubbel-superfosfaat atau enkei superfosfat, ternyatalah amat menaikkan tingkat produksi. Ada sawah yang dengan pupuk fosfat itu bertambah hasil 5 kwintal sehektar, bahkan ada pula yang memberikan hasil tambah 10 kwintal per hektar. Kita sekarang telah mengetahui, bahwa luasnya daerah sawah-sawah kita yang amat ”dankbaar” kepada pupuk dubbel-superfosfat adalah beratus-ratus ribu ha sawah seperti misalnya daerah-daerah tuf atau mergel atau laterit di Banten Utara, daerah Cihea antara Cianjur dan Bandung, daerah Cirebon Timur, Cirebon; daerah barat Jogjakarta, Solo Timur, Madiun Utara, Kediri Utara, Pasuruan, Bangil, daerah Purwodadi, Lusi-Randublatung, Bojonegoro, Lamongan, Madura, darah Rapang di Sulawesi Selatan, daerah Bone dan Sulawesi Tengah, dan banyak lagi daerah lain, yang semua total jumlahnya tak kurang dari 700.000 ha sawah – yang, jikalau kita bekerja mati-matian memupuknya dengan pupuk tiruan fosfat, total akan memberi hasil tambah tidak kurang dari 360.000 ton beras tiap-tiap tahunnya. Tetapi pemupukan itupun belum berjalan sebagaimana mestinya.

Dus, dengan menanam jenis padi yang lebih manfaat – hasil seleksi – kita dapat memperoleh hasil-hasil tambah 600.000 ton beras; dengan pemupukan sawah-sawah mergel atau tuf atau leterit dengan pupuk fosfat kita dapat memperoleh hasil tahunan 360.000 ton – Jumlah total 960.000 ton, atau bulatnya 1 juta ton. Sedangkan jumlah tambahan beras yang kita butuhkan untuk menyelamatkan 83.000.000 orang dalam tahun 1960 dengan dasar 1.700 kalori seorang sehari saja ialah, sebagai kuuraikan di muka tadi itu, 1,5 juta ton – dus masih kekurangan lagi 0,5 juta ton. Dan jikalau kita masih bercita-cita menaikkan argeidsprestatie rakyat kita dengan memberikan makanan kepadanya 2.250 kalori seorang sehari, maka ketekoran kita itu malah masih sebesar 6,3 juta ton – 1 juta ton = 5,3 juta ton.

Dari uraian saya di atas ini ternyatalah, bahwa tidak ada ”way-out” mutlak untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dari bahaya kelaparan dan bahaya kemusnahan. Bilamana kita hanya menempuh jalan yang pada masa sekarang ini lazim diusahakan, yakni hanya jalan seleksi dan hanya jalan pemupukan bagi sawah-sawah yang sudah ada, dan ikhtiar memperluas daerah pertanian berupa sawah, yang sebagai ternyata di muka tadi, tidak mungkin kita perluaskan lagi secara besar-besaran. Tidak, kita harus menempuh jalan lain juga, jalan yang hingga kita masih terlalu dianaktirikan, yakni jalan mencurahkan perhatian kita juga kepada pertanian di tanah kering, pertanian di tanah ladang.

Pertanian pada tanah sawah memang masih tetap penting bagi kita, tetap jelaslah bahwa pertanian di sawah itu saja, tidak memberikan ”way-out” mutlak kepada kita. Kita harus mencurahkan perhatian kita secara simultan ya ke sawah ya ke ladang. Kita harus berubah menjadi satu bangsa yang baru, juga di atas lapang pertanian. Kita harus, mau tidak mau, menempuh jalan yang di seluruh dunia ditempuh orang Eropa dan Amerika hidup dari pertanian kering – kenapa kita tidak memperhatikan pula pertanian kering kita.

Yang kini mengetahui bahwa pertanian pada basah saja tidak memberi ”way-out” mutlak. Ketahuilah, bahwa pertanian rakyat di tanah kering lebih luas dari pada pertanian di sawah-sawah. Ini bukan saja satu kenyataan yang didapatkan di luar Jawa, tetapi juga satu kenyataan di Jawa sendiri, yang lebih penuh-sesak-padat penduduknya itu. Sedangkan di Jawa luasnya sawah lebih kurang 3.384.000 ha, maka luasnya tanah kering yang diusahakan untuk pertanian adalah 4.500.000 ha. Di luar Jawa luasnya pertanian tanah kering adalah lebih kurang 3.500.000 ha. Total pertanian tanah kering di seluruh Indonesia adalah lebih kurang 8.000.000 ha.

Alangkah besarnya persediaan makanan kita, kalau 8.000.000 ha ini dapat kita berikan produksi yang lebih tinggi. Di sini di tanah kering inilah, lebih ”way-out” mutlak yang kita cari. Tetap apa lacur?  Satu corak yang mencirikan pertanian di ladang-ladang ialah, bahwa oleh pengusahanya sama sekali tidak dilakukan, syarat-syarat untuk mempertahankan kesuburan tanah. Satu-satunya usaha menyuburkan tanah ialah terdiri dari menanduskan (memberokan) tanah itu beberapa tahun lamanya, sehingga tanah-kering tersebut ditumbuhi oleh belukar atau hutan ringan, yang kemudian ditebang pula untuk diperladang.
Ketambahan lagi tanah-tanah kering itu tidak saja kehilangan kesuburannya, tetapi juga diserang oleh bahaya erosi, sehingga pada akhirnya daerah demikian itu merupakan satu-tanah mati – satu – ”sterven land” yang menyedihkan.

Cara pertanian yang demikian itu tak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Cara-caranya harus diubah demikian rupa, sehingga kehilangan zat-zat tanah yang perlu buat tanaman dapat dihentikan, dan tubuh tanah dipelihara, sehingga kesuburan pulang kembali. Jangan menganggap remeh akan hal ini. Sebab, bilamana kita tidak dapat mengembalikan kesuburan tanah-tanah ladang ini sehingga dapat ditanami lagi dengan tanaman-tanaman makanan secara manfaat, bilamana kita perbariki stervend land tetap stervend land, dan ladang-ladang menjadi stervend land, maka perlengkapan bahan makan bangsa kita niscaya akan roboh sama sekali, akan lebur, akan hancur. Oleh karena ”way-out” mutlak kita dalam hal persediaan makanan rakyat adalah justru terletak dalam tanah-tanah kering itu.

Dapatkah tanah-tanah kering menjadi sumber kemanfaatan? Dapat pemuda-pemudi; dapat! Asal kita, terutama sekali kamu, generasi muda, suka ”aanpaltken” soal ini dengan tepat, maka kita tak perlu berkecil hati.
Kemungkinan dalam teknik dan ilmu penantian telah besar sekali. Tiga puluh tahun yang lalu, propinsi NoordBrabant dan Veluwe di Negeri Belanda yang tanahnya tanah pasir yang amat miskin itu, hanyalah dapat menghasilkan sedikit boekweit dan kentang dan rogge. Hanya biri-biri kurus saja ditemukan di sana dan jumlah yang kecil-kecil. Sekarang, berkat teknik pertanian, tanahnya tak kurang suburnya. Semua tanahnya dapat dihasilkan di situ, bunga-buah yang indah menyegarkan mata, sapi-sapi yang segemuk sapi Friesland terdapat di sana dalam jumlah yang besar-besar.
Ini adalah hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pelbagai balai-balai dalam waktu 10-15 tahun. Berkat rajinnya anak negerinya, berkat tepatnya cara pengolahan tanah, berkat pemakaian pupuk tiruan, secara besar-besaran, maka mereka dapat mengatasi kesukaran-kesukaran dalam menyelamatkan dirinya dari bahaya kelaparan.

Mengapa kita di Indonesia tidak nanti dapat bertindak sedemikian juga? Kita dapat bertindak sedemikian juga – dapat, dan aku tidak ragu-ragu akan hal itu – asal, generasi muda, suka bertindak, asal kamu suka belajar, asal kamu nanti menjadi pelopor.

Pertanian-tanah-kering kita dapat kita bikin menjadi sungguh-sungguh manfaat, dengan melakukan empat ikhtiar yang kusebutkan di bawah ini.

P e r t a m a : Kita harus melakukan pemupukan, tanah-tanah ladang kita harus dipupuk, baik dengan pupuk kandang, maupun dengan pupuk tiruan. Pupuk kandang dibutuhkan, bukan saja oleh karena pupuk inilah yang termudah bagi petani, tetapi juga oleh karena pupuk kandang dapat memperbaiki struktur tubuh tanah. Kalau pupuk ini masih kurang, tambahlah dengan pupuk hijau. Dan kalau inipun kurang, pakailah pupuk tiruan. Jangan berkata bahwa pupuk tiruan mahal. Satu-satunya ”way-out” ini kan harus kita tempuh, kalau kita sebagai bangsa tidak mau mati, Lagi pula – semua pupuk-pupuk tiruan yang diperlukan untuk tanah-tanah kering kita itu,  yaitu pada umumnya; zwavelzure amonia, kaliumsulfat, dan doubbel-superfosfat, dapat dibikin di negeri kita sendiri dari bahan-bahan yang ada di negeri kita sendiri. Ini sudah kita selidik. Maka kalau kita membikin pupuk-pupuk itu di negeri kita sendiri tak perlulah kita membelinya di luar negeri. Tak perlulah kita tergantung dari keadaan deviezen lagi. Tak perlulah kita tergantung dari keadaan politik di negara orang.
Dan kita lantas dapat menjalankan pemupukan tanah-tanah kering kita secara besar-besaran. Ratusan ribu ha, jutaan hektar tanah kering menjadi tanah yang menghasilkan produksi. Hancur leburlah hantu kemiskinan-zat dalam tanah-tanah kering kita itu.

K e d u a : kita harus menjalankan seleksi bagi tanah kering. Alangkah masih kosongnya usaha seleksi bagi tanah kering itu? Tentang seleksi padi-gogo dapat dikemukakan, bahwa hal itu hingga kini selalu diabaikan, selalu dianaktirikan. Semua tenaga sampai kini dicurahkan kepada seleksi padi sawah, padi basah. Walaupun barangkali memang tidak mungkin menciptakan satu jenis gogo baru yang sama sekali tahan kemarau, yaitu yang sama sekali ”droogterestent” namun toh kemungkinan untuk mendapatkan satu jenis-baru yang mendekati kebutuhan ini, tidak masuk dalam lapangan kemustahilan. Dan selain dari pada padi? Jenis kacang tanah, jenis jagung, jenis cantel dan lain-lain tanaman yang bermanfaat bagi kehidupan rakyat, pun masih mengandung kemungkinan untuk diperbaiki lagi dengan jalan seleksi.

Tanah kering harus ditanami dengan tanaman yang tanah kering, dan nilai khasiatnya harus dibuat sederajat dengan nilai khasiat padi, misalnya jagung, jawawut, kedele, kacang tanah dan lain-lain sebagainya lagi. Penggiatan seleksi bagi tanaman-tanaman tanah kering ini teranglah satu keharusan yang lekas harus kita penuhi!

K e t i g a : kita harus memperlipatgandakan perhewanan ternak. Peternakan adalah satu syarat mutlak untuk pertanian di tanah kering. Dari mana datangnya pupuk kandang, kalau tidak dari ternak? Dari mana tenaga-tenaga penarik- trekkrachten – untuk perusahaan pertanian itu, kalau tidak dari sapi atau kuda. Kecuali itu, adanya ternak memecahkan soal lalu lintas, sehingga soal pengakutanpun ikut terkupas oleh karenanya pula. Terutama kuda mendinamiskan manusia. Belum kita sebut disini manfaat besar yang datang dari peternakan berkenaan dengan kebutuhan zat putih telur (eiwit) dalam makanan rakyat ! Telur ayam, telur itik, daging ayam, daging itik, daging kambing, daging sapi, dan lain-lain sebagainya, membuat tubuh manusia menjadi sehat dan kuat. Di dalam hal pemakaian zat putih telur yang berasal dari hewan, Indonesia menduduki satu tempat yang teramat rendah. Hanya rata-rata 4 gram kita makan seorang sehari.
Sedangkan di Siam orang makan zat putih telur 21 gram seorang sehari, di Malaya 14 gram seorang sehari, di IndoCina 17 gram seorang sehari, di India 9 gram seorang sehari, di Philipina 25 gram seorang sehari, di Cuba 29 gram seorang sehari, di Birma 32 gram seorang sehari. Sejak penjajahan Belanda yang beratus-ratus tahun itu, kita telah menjadi satu bangsa yang terlalu sedikit makan zat putih-telur dari hewan dan karenanya kita telah menjadi satu bangsa yang lemah badan dan kurang dinamis.
Di zamannya Sultan Agung  Hanjokrokusuma, maka menurut ceritanya Rijcklof Van Goens, seorang Belanda yang menghadap di keraton Sultan Agung di Kerta, di Ibu Kota Mataram itu tiap-tiap hari disembelih orang 500 ternak yang besar-besar. Dan lihatlah dalam sejarah pada waktu itu bangsa kita satu bangsa yang dinamis yang tangkas, yang ulet, yang berani, yang gemar bekerja.

K e e m p a t : mekanisasi. Ini satu hal yang telah lama kucita-citakan dan idam-idamkan. Pada umumnya luasnya pertanian di Jawa tidak melebihi 1 ha buat tiap-tiap petani dan 1 ha ini adalah terlalu sedikit untuk hidup, terlalu banyak untuk mati. Teweinig om van televen, te veel om van te sterven. Di daerah kolonisasi di luar Jawapun petani rata-rata hanya mempunyai sawah tidak lebih dari 1 1/2 atau 2 ha. Berapa sebenarnya harusnya memiliki tanah, untuk hidup cukup, hidup sentosa ? kalau tanah itu tidak cukup subur seperti halnya dengan tanah-tanah yang sekarang didapatkan di luar Jawa, maka milik itu sebenarnya harus sedikitnya 10 ha buat tiap-tiap petani. Tetapi sebaliknya, kali ia diberi 10 ha, maka ia tak mempunyai cukup tenaga untuk mengolah tanahnya itu. Dengan sepasang sapi dan dengan bantuan anak istrinya serta seorang bujang, ia paling banyak dapat menggarap 5 ha tanah. Di Limburg (Negeri Belanda) petani rata-rata mempunyai 20 ha, yang ia kerjakan dengan keluarganya serta seekor kuda besar dan di samping itu masih  mempunyai 2-3 ekor sapi, 3-4 ekor babi, 100 ekor ayam. Bagaimanakah kita memecahkan soal kita ini, kalau kita mengerti bahwa kita kekurangan sapi, kekurangan kerbau, kekurangan kuda ?
Tidakkah mungkin mekanisasi kalau mungkin secara kolektif membawa pemecahan dalam soal ini ?

Untuk mencoba pertanian secara mekanis, di daerah Kendari (Sulawesi) ada siap sedia 15.000 ha tanah kering yang datar dengan struktur tanah yang cukup enteng untuk digarap dengan mesin. Pembagian hujan selama tahun disana adalah demikian ratanya, sehingga dua kali setahun daerah itu dapat menghasilkan panen padi gogo yang lumayan. Tidakkah baik kita coba pertanian mekanik disana itu?

Pemuda-pemudi, akupun sering melayangkan angan-anganku mengenai pertanian padi di tanah Jawa. Bilakah seorang pemuda atau pemudi Indonesia ahli ilmu pertanian mendapatkan satu jenis padi kering – padi kering, bukan padi basah yang droogte resisten, yang produksinya tidak kalah dengan padi basah, yang rasa nasinya tidak kurang lezat dari misalnya pada Bengawan yang kebal segala penyakit, yang dapat memberi panen dua kali setahun? Ah, kalau jenis padi kering yang demikian itu terdapat, kalau impianku ini terwujud, kalau segala padi bisa kita ganti dengan padi kering yang all-round itu, satu revolusi besar dapat kita jalankan di lapangan penantian padi. Kita bisa bikin petani-petani kita ”collective minded” kita bisa buang segala pematang-pematang atau galengan-galengan, kita bisa coret sebagian terbesar dari pengeluaran-pengeluaran untuk irigasi yang berpuluh-puluh milyun, kita bisa bekerja dengan tractor-tractor dan mesin-mesin pengetam, kita bisa bekerja ekonomis besar-besaran, kita bisa pergunakan tenaga petani yang berlebih untuk kerajinan tangan atau niverheid, kita bisa lemparkan banyak sekali tenaga kerja ke dalam industrialisasi di daerah-daerah kita yang harus diindustrialisir. Betapa hebatnya akibat Revolusi Pembangunan yang demikian itu. Produksi bahan makanan akan terbang naik ke atas, neverheid akan tumbuh di mana-mana, industrialisasi akan tidak kekurangan tenaga manusia dan mental, dalam kedudukan jiwa, bangsa Indonesia akan berubah akan bangkit sama sekali. Hilanglah nanti segala sifat kepelanan, hilanglah segala sifat tak berdaya yang menghinggapi petani kecil, hilanglah segala kemak-kemik sapa mantra dan kukus kemenyan dan sesajen, hilanglah segala sifat jiwa kedesaan, tumbuh sifat kebrayaan dan kerjaan yang luas, tumbuhlah jiwa natie yang lebar, tumbuhlah jiwa Negara yang melangkahi segalai batas-batasnya desa dan lembah dan gunung dan lautan. Terbangunlah satu Bangsa Indonesia Baru yang badannya sehat kuat karena cukup persediaan makan, yang jiwanya dinamis tangkas perkasa karena terlepas dari ikatan-ikatan lama yang membelenggu ribuan tahun.

Pemuda pemudi sekalian ! Pidatoku hampir habis. Agak lama aku minta perhatianmu, tetapi tidak terlalu lama. Oleh karena soal yang kubicarakan ialah soal hidup atau mati. Camkanlah dan perhatikanlah pada masa sekarang ini. Indonesia menghadapi satu bahaya kelaparan yang tiap-tiap tahun datang kembali, tiap-tiap tahun bertambah besar dan cepat akan merupakan satu bencana, satu malapetaka kalau tidak kita tanggulangi secara cepat. Bahwa Indonesia pada masa sekarang ini terpaksa membeli beras dari luar negeri sebanyak 600.000 atau 700.000 ton, besok 800.000 ton, lusa 900.000 ton, bahwa di sana sini timbul penyakit hongeroedeem bahwa di tanah air kita yang indah permai ini ada anak-anak kecil yang diangkut ke rumah sakit oleh karena periuk nasi di rumah adalah kosong, itu adalah sebenarnya satu tanda ketidakmampuan satu brevet van onvermogen dari pada generasi sekarang yang tak mampu mengenal dan memecahkan soal. Sebagai mode didatangkanlah berbagai ahli dari luar negeri, yang memang ahli, tetapi juga di sini masih harus belajar lebih dahulu. Tetapi generasi sekarang biarlah generasi sekarang. Tetapi engkau, engkau pemuda pemudi di seluruh Indonesia, yang sekarang duduk di bangku-bangku SMA, engkau adalah generasi baru. Engkau adalah generasi yang akan datang ! Engkaulah yang bertanggung jawab atas nasib bangsamu di masa depan. Kita kekurangan kadar bangsa, terutama di lapangan pertanian dan peternakan. Aku bertanya kepadamu; sedangkan rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu dekat kalau soal makan rakyat tidak segera dipecahkan; sedangkan soal persediaan makan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati, kenapa dari kalangan-kalanganmu begitu kecil minat untuk studi ilmu pertanian dan ilmu perhewanan ?
Kenapa buat tahun 1951/1952 yang mendaftarkan diri sebagai mahasiswa bagi Fakultas Pertanian hanya 120 orang, dan bagi Fakultas Kedokteran Hewan hanya 7 orang? Tidak pemuda pemudiku, studi Ilmu Pertanian dan Ilmu Perhewanan tidak kurang penting dari studi lain-lain, tidak kurangmemuaskan jiwa yang bercita-cita dari pada studi yang lain-lain. Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak aanpakken soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka.

Secepat mungkin kita harus membangunkan kadar bangsa di atas lapangan makanan rakyat, kalau mungkin laksana cendawan di musim hujan. Secepat mungkin kita membutuhkan paling sedikit 350 insinyur pertanian, 150 ahli kehutanan, ratusan ahli seleksi, ratusan ahli pemberantasan hama, ratusan ahli pemupukan, ratusan ahli tanah, ratusan ahli irigasi pertanian rakyat, ratusan ahli kehewanan, dokter-dokter hewan dan ahli-ahli pemeliharaan ternak.
Daftarkanlah dirimu nanti menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan. Jadilah Pahlawan Pembangunan. Jadikanlah bangsamu ini bangsa yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya. Buat apa kita bicara tentang politik bebas kalau kita tidak bebas dalam hal urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dan bangsa-bangsa tetangga ?. Kalau misalnya peperangan dunia ke III meledak, entah besok entah lusa, dan perhubungan antara Indonesia dan Siam dan Birma terputus karena tiada kapal pengangkutan, dari mana kita mendapat beras? Haruskan kita mati kelaparan ? Buat apa kita membuang devisa bermilyun-milyun tiap-tiap tahun untuk membeli beras dari negeri lain, kalau ada kemungkinan untuk memperlipatgandakan produksi makanan sendiri?. Segala ihtiar-ihtiar kita untuk menekan harga-harga barang di dalam negeripun sebagai telah kita alami selalu akan kandas, selalu akan sia-sia, selama harga beras periodik membumbung tinggi, karena harga beras memang menentukan harga barang yang lain-lain. Politik bebas, prinstop, keamanan, masyarakat adil dan makmur ”mens sana in corpore sano” semua itu menjadi omongan kosong belaka, selama kita kekurangan bahan makanan, selama tekor kita ini makin lama makin meningkat. Selama kita hanya main sinisme saja dan senang mencemooh, selama kita tidak bekerja keras, memeras keringat mati-matian menurut plan yang tepat dan radikal. Revolusi Pembangunan harus kita adakan, Revolusi Besar di atas segala lapangan. Revolusi Besar dengan segera, tetapi paling segera di atas lapangan persediaan makanan rakyat.
Dan kamu, pemuda-pemudi di seluruh Indonesia, kamu harus menjadi pelopor dan pahlawan dalam Revolusi Pembangunan itu! Janganlah bangsa menyesal, di hari yang akan datang.

Dengan ucapan itulah, saya meletakkan batu pertama dari Gedung Fakultas Pertanian ini. Sekian! Terima kasih!

Baranang Siang Bogor, 27 April 1952
SOEKARNO

Comments are closed.