Pakan Mahal Jangan Sampai Gagal

Views: 0
Fokus Infovet edisi 164 Maret 2008

( Harga pakan terus merangkak naik. Harga jual hasil produksi daging dan telur tidak kunjung baik. Gairah para peternak sedang lesu. Meski demikian sebenarnya ada peluang besar jika saja dapat memanfaatkan pada saat ini. Jika saja peluang itu dapat diraih, maka akan kembali menggairahkan perunggasan dalam negeri. Inilah aneka kiat peternak.)

Sudah menjadi realita yang dialami para peternak ayam potong dan petelur, bahwa awal tahun 2008 ini terhimpit dalam situasi yang kurang menyenangkan. Harga pakan terus merangkak naik, sementara harga jual hasil produksi yang berupa daging dan telur tidak kunjung baik.

Kesepakatan untuk memangkas produksi bibit (DOC) nampaknya tidak juga mampu menolong mereka, bahkan satu persatu pelaku perunggasan memilih mengurangi populasinya. Sangat nyata sekali dirasakan di lapangan, dengan salah satu indikatornya adalah omset penjualan vaksin dan obat-obatan serta vitamin terus melorot dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Informasi yang diperoleh Infovet dari para pemasar bahwa ada penurunan omset yang bervariasi antara 15-40%. Sebuah penurunan omset yang memang memprihatinkan sekali. Namun entah bagaimana lagi untuk mencari solusi atas masalah itu, oleh karena pada kenyataannya daya beli masyarakat terhadap daging dan telur juga semakin melemah saja.

Gairah para peternak memang sedang lesu, meski demikian sebenarnya ada peluang besar jika saja dapat memanfaatkan pada saat ini. Hal ini terkait dengan mahalnya tempe, tahu dan daging sapi. Jika saja peluang itu dapat diraih, maka akan kembali menggairahkan perunggasan dalam negeri. Sebab jika kondisi seperti ini dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan produk unggas dari manca negara akan merangsek masuk ke Indonesia. Dan atas dasar hal inilah yang membuat Sapta Haryono, Kardiyono dan Ahmad Fauzi terus bertahan di tengah kondisi yang sulit dan berat.

Afkir Dini

Tentunya ada kiat dan alasan lain mereka masih berusaha bertahan sampai kini, meski ibarat berperang, mereka mencoba sampai titik darah penghabisan. Begitu juga yang dilakukan oleh Sapta seorang peternak ayam petelur di Bantul yang melakukan afkir dini. Meski masih berumur 1 tahun akan tetapi jika produksinya buruk secara induvidual diafkir. Menurutnya cara ini paling realistis dan efektif, meski untuk melakukan hal itu butuh waktu dan tenaga yang lebih.

”Saya mengambil langkah paling rasional dalam mengatasi mahalnya harga pakan ayam. Sekarang ini ( maksudnya bulan Februari 2008 ) masih beruntung, karena harga jagung sudah relatif murah. Bila Januari kemarin pernah mencapai Rp 2500/kg dan kini sudah pada level Rp 1900-2000/kg, setidaknya bisa menghemat biaya produksi. Sehingga langkah afkir ayam masih bisa ditoleransi lebih longgar. Begitu juga dengan pullet saya pelihara, yang pertumbuhannya terhambat akan diafkir agar tidak membebani. Memang untuk melakukan cara saya, membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih. Dan saya yakin pada populasi yang sangat besar tidak akan mungkin dilakukan,” urai Sapta.

Menghemat dengan Katul dan Jagung

Sedangkan Kardiyono, seorang peternak ayam petelur melakukan penghematan melalui pemberian pakan berupakatul dan jagung saja. Hasilnya memang cukup mengagetkan, karena ada penurunan produksi hingga 55-65% dari sebelumnya saat dengan konsentrat, jagung dan katul. Dari populasi 4500 ekor ayam miliknya hanya diperoleh telur sebanyak 70-74 kg per hari.

Meski anjlognya produksi jelas karena pakan yang diberikan tidak memenuhi standar kecukupan produksi, namun Kardiyono punya pertimbangan lain. Naluri bisnisnya memprediksi bahwa harga telur akan terdongkrak naik ketika harga tempe, tahu dan juga harga daging sapi yang naik. ”Perkiraan saya harga telur ayam akan merambat naik dengan cepat ketika harga tempe, tahu mahal. Konsumen akan memilih telur, karena paling luwes dibanding daging ayam sekalipun. Pilihan berikut baru daging ayam. Hal ini juga terkait erat dengan naiknya harga daging sapi pada sebulan terakhir ini. Itu pertimbangan saya jangka pendek,sedangkan dalam jangka panjang sudah pasti banyak peternak ayam petelur yang terus mengurangi populasinya akibat berat ongkos di pakan. Sehingga 2 bulan kedepan pasti dan pasti menurut saya, harga telur akan sangat baik,” paparnya dengan percaya diri.

Oleh karena itu jika ditanyakan kenapa tidak mengurangi populasi seperti yang dilakukan oleh Sapta, ia tidak sepaham. Menurut Kardiyono cara itu atas dasar pengalamannya adalah konyol. Ketika krisis ekonomi 1997, para peternak memilih cara Sapta akhirnya ketika harga telur menjulang, gigit jari.

Dan pada saat krisis itu justru ia tetap bertahan dengan mempertahankan populasinya meski harus merelakan sebidang tanah pekarangan dan 2 mobil angkutan telur dijual untuk beli pakan ayam-ayamnya. Akhirnya ia menikmati hasil telur emas pada saat itu. Dan kini menurutnya pilihan saat ini juga mengandung resiko besar tetapi juga harapan. ”Lebih baik kita buktikan saja mas,” tantang Kardiyono kepada Infovet.

Andalkan Probiotik

Lain lagi kiat Jumadi, peternak ayam potong dalam menghadapi harga pakan yang mahal, ia lebih mengandalkan pemakaian probiotik untuk mempertahankan performance produksinya. Jelas mengurangi porsi pakan pada ayam potong apalagi memberi campuran dengan katul atau jagung adalah ibarat bunuh diri. Maka menurutnya tidak ada cara lain kecuali penghematan itu ditempuh melalui segala upaya dalam rangka mendongkrak hasil terbaik.

Hasil terbaik itu, jelas Jumadi antara lain, pertumbuhan dan bobot ayam relatif seragam dan diatas standar umumnya. Selain itu ayam harus sehat, sehingga tidak perlu tambahan ongkos produksi. Bahkan dengan ayam yang sehat akan menekan angka kematian alias kerugian yang tidak perlu. Umumnya para peternak dengan angka kematian 5% sudah bangga, akan tetapi menurutnya justru kalau mortalitas bisa 1-2% itu baru boleh dibanggakan.

Atas dasar pemikiran itu maka tidak ada cara lain kecuali berupaya dengan segala cara akan tetapi jangan sampai mengurangi kualitas pakan, kalau bisa menurutnya harus meningkatkan kualitasnya dan daya cernanya di dalam tubuh ayam. Pilihan Jumadi adalah dengan pemberian probiotik yang dicampur dengan air minum juga selalu ia semprotkan ke pakan. Sejak lama ia membuktikan bahwa memang potensi probiotik dalam mendongkrak kualitas pakan dan mampu menyehatkan ayam nyata adanya. Memang banyak orang yang tidak mempercayai akan tetapi, dirinya membuktikan itu.

”Prinsip saya, oleh karena kemampuan peternak dalam rantai usaha ayam potong adalah sangat terbatas, maka harus dicari di bagian mana yang masih bisa kita kendalikan. Sebut saja, kualitas dan harga DOC maupun Pakan adalah diluar kendali peternak. Begitu juga dengan harga jualnya, apa peran yang bisa diambil peternak, bukankah pasar alias bakul lebih dominan mengendalikannya. Sehingga menurut saya sebagai peternak berharap harga ayam baik adalah boleh-boleh saja, namun yang lebih penting adalah melakukan budidaya pemeliharaan sebaik mungkin dan sehemat mungkin,” ujar Jumadi panjang lebar.

Jika hasil budidaya mencapai terbaik, maka menurut Jumadi meski harga jual sangat buruk, kerugian itu tidaklah akan besar. Kesaksian Jumadi tentang Probiotik ini memang patut diperhatikan oleh para peternak ayam potong dalam rangka mengais keuntungan di kandang sendiri. Kardiyono berpesan, meski pakan mahal akan tetapi dalam budi daya hendaknya jangan sampai gagal, karena jika itu terjadi maka nasib peternak itu ibarat jatuh tertimpa tangga. BENAR JUGA!

Comments are closed.