Mengawali tahun 2013, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan wabah AI pada bebek yang menyebar dengan cepat ke berbagai daerah di Indonesia. Data dari Unit Penanggulangan dan Pengendalian AI (UPPAI) Ditjen PKH Kementan menyebut AI pada bebek telah menyebar ke-11 Propinsi di Indonesia dengan angka kematian bebek mencapai lebih dari 510 ribu ekor. Dalam waktu yang sama dikabarkan kasus AI pada ayam ras juga mengalami peningkatan. Menurut beberapa peneliti dari Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI, sebagaimana diberitakan Infovet edisi Januari lalu, virus penyebab AI pada bebek ini berbeda dengan AI yang selama ini dikenal di unggas, dan dipastikan virus ini merupakan introduksi dari luar bukan merupakan hasil mutasi virus yang telah ada sebelumnya.
Bagaimana sebenarnya perkembangan penyakit AI di Indonesia? Bagaimana sebaiknya mengatasi wabah AI versi baru ini? Bagaimana kaitan AI pada bebek dan unggas lainnya? Untuk menjawab hal itu semua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) menggelar seminar dengan menghadirkan pembicara yang kompeten dan berpengalaman. Diantaranya adalah Drh Muhammad Azhar, Koordinator UPPAI Pusat Kementerian Pertanian RI, Prof. Drh. Widya Asmara, SU. PhD, pakar penyakit AI dari FKH Universitas Gadjah Mada dan Prof. Dr. I Gusti Ngurah Mahardika, Kepala Lab. Biomedik dan Biologi Molekuler Hewan FKH Universitas Udayana.
Menurut Ketua Panitia Drh. Andi Wijanarko, Seminar Nasional Kesehatan Unggas ke-3 ASOHI ini dihadiri lebih dari 100 peserta stake holder perunggasan baik dari kalangan pelaku budidaya, breeding, perusahaan obat hewan dan juga pemerintah. Selain itu hasil rujukan seminar yang diselenggarakan di Hotel Santika Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada Kamis, 31 Januari 2013 diharapkan dapat menjadi rujukan penting oleh pemerintah maupun dunia usaha dalam mengendalikan penyakit AI.
Prof. Widya Asmara dalam paparannya menjelaskan bahwa wabah AI yang dimulai tahun 2003 oleh virus AI H5N1 clade 2.1.3. Korban utamanya adalah peternakan ayam komersial baik layer maupun broiler, dan unggas lain seperti burung puyuh dan bebek. Di awal wabah VAI juga dapat diisolasi dari bebek dengan gejala tortikolis dan diikuti kematian. Termasuk dalam HPAIV H5N1 clade 2.1.3 dan s/d 2002 jarang ada kematian pada bebek, tetapi periode 2003-2005 mulai ada kematian bebek di Asia oleh virus HPAI. Kemudian periode berikutnya kembali jarang ditemui kematian bebek akibat VAI H5N1 clade2.1.3. Namun bagaimana perilaku virus ini pada unggas liar belum teramati. Prof. Widya melanjutkan, pada wabah AI 2012/2013 kali ini banyak kematian pada ternak bebek. “Dimulai dari Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke sepuluh propinsi di Indonesia. Sebagian besar bebek mati terkonfirmasi akibat VAI H5N1. Dan dari hasil analisis molekuler termasuk HPAIV clade 2.3.2. Artinya virus ini bukan hasil mutasi dari VAI penyebab wabah 2003,” jelas Prof. Widya.
Hal ini juga ditegaskan oleh Drh. M. Azhar yang berdasarkan hasil investigasi lapangan dan uji laboratoris dari Tim Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta sejak Oktober-November 2012 bahwa telah ditemukan meningkatnya kasus kematian bebek yang disebabkan oleh virus AI subtype H5N1. “Selain itu hasil karakterisasi genetik oleh BBPMSOH, PUSVETMA, BPPV Bukittinggi, BBALITVET, BBV Wates, 3 Desember 2012 ditemukan virus AI subtype H5N1 yang memiliki kelompok gen (clade) baru yakni 2.3.2 pada bebek yang berbeda dengan clade lama 2.1.3 yang selama ini menyerang unggas di Indonesia,” kata Drh. Azhar.
Yang jadi pertanyaan apakah virus ini hanya menyerang bebek? Karena diketahui, virus baru ini juga dapat diisolasi dari ternak ayam. Bahkan data dari FoBI (Forum Biodiversitas Indonesia), lanjut Prof. Widya Asmara, melaporkan banyak kematian pada unggas liar di daerah pesisir selatan Jawa, sehingga perlu analisis lebih detil apakah disebabkan oleh VAI H5N1 atau bukan. Namun terlepas dari itu semua kita semua mengharapkan kasus AI ini segera mereda dengan mulai terjadinya kekebalan populasi pada ternak bebek.
Kebijakan Vaksinasi
Penggunaan vaksin yang tidak 100% homolog sangat dimungkinkan karena adanya kemampuan proteksi silang (cross protection) dari vaksin AI yang digunakan sebagaimana diungkapkan Swayne et al., Vaccine (18): 1088-1095, 2000. Nguyen HH. Dept. Microbiology & Immunology Vaccine Centre. Univ. Alabama : “Heterosubtype Immunity to Influenza A, mediated by B cell” dan Fazekas et al., Clinical & Vaccine Immunology (16): 437-443, 2009.
Namun hal ini juga sangat tergantung kepada derajat homologi dengan virus lapang dan dosis infeksi virus atau banyaknya virus tantang. Sementara untuk pengembangan vaksin baru yang homolog membutuhkan pendekatan pencegahan seperti misalnya strain seed vaksin yang bagus, kemurnian yang tinggi (contoh, cloned strain), sifat genotip dan fenotipnya stabil, aman, potensi dan efikasi yang tinggi serta ekonomis.
Lebih lanjut Prof. Widya juga mengungkap hasil Rapat KOH Khusus tanggal 10 Januari 2013 yang diantaranya memutuskan bahwa vaksin AI H5N1 clade 2.3.2 diizinkan diproduksi. Hal diperlukan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan kegagalan vaksin H5N1 clade 2.1.3 dalam menahan infeksi virus H5N1 clade 2.3.2. Sementara ini vaksin AI H5N1 clade 2.3.2 hanya direkomendasikan penggunaannya pada unggas air dengan cara aplikasi vaksinasi yang baik dan benar meliputi cakupan melebihi 80% dan dilakukan vaksinasi minimum 2 kali (priming dan booster). Apabila hasil kajian vaksin AI H5N1 clade 2.1.3 dinyatakan masih protektif terhadap virus AI H5N1 clade 2.1.3 dan clade 2.3.2 maka vaksin AI H5N1 clade 2.3.2 tidak perlu diproduksi lebih lanjut. Sementara apabila hasil kajian vaksin AI H5N1 clade 2.1.3 dinyatakan tidak protektif terhadap virus AI H5N1 clade 2.3.2 maka vaksin H5N1 clade 2.3.2 diizinkan diproduksi lebih lanjut setelah lulus uji tantang dan vaksin AI H5N1 clade 2.1.3 masih tetap dapat digunakan untuk vaksinasi.
Tak Harus Satu Jenis Vaksin
Prof. Widya Asmara yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Komisi Obat Hewan, Kementerian Pertanian juga menegaskan bahwa saat ini, berkaitan dengan jabatannya di KOH, ia menjamin tidak akan ada masalah yang tidak ada ujung pangkalnya. Sepertinya misalnya untuk pendaftaran vaksin yang termasuk ke dalam golongan PRG (produk rekayasa genetik) yang selama ini dikeluhkan sangat sulit. Menurut Prof. Widya vaksin PRG tidak harus dilakukan pengujian terhadap produk PRG di dalam negeri sejauh data yang dibutuhkan sudah lengkap dan mampu memuaskan Tim Penguji. Karena kalau harus diuji lagi di dalam negeri akan muncul masalah baru mengenai laboratorium mana yang berkompeten untuk melakukan pengujian dan siapa pengujinya.
Hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 19 ayat 1 PP No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang berbunyi “Pengujian di laboratorium, fasilitas uji terbatas dan/atau lapangan uji terbatas dilakukan apabila informasi dalam dokumen yang disertakan oleh pemohon belum dapat meyakinkan KKH untuk mengambil kesimpulan bagi pemberian rekomendasi keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan PRG”.
Sementara itu terkait kebijakan Pemerintah yang saat ini mengharuskan upaya vaksinasi di lapangan hanya menggunakan strain vaksin AI dari isolat lokal. Prof. Widya menilai kebijakan tersebut kurang tepat. Karena untuk Indonesia yang upaya stamping out jika terjadi wabah tidak bisa dilakukan dengan cepat, ditambah lagi tingkat mutasi virus yang cukup tinggi. Ia menyarankan Indonesia tidak harus menggunakan hanya satu jenis vaksin AI saja yang digunakan. “Karena tidak ada negara di dunia yang hanya menggunakan satu jenis vaksin saja untuk AI di perunggasannya. Apalagi di Indonesia ini semuanya ada. Ya mutasinya, ya strainnya, ya subtipenya, ya tingkat biosekuritinya yang sangat beragam. Semakin banyak jenis vaksin yang beredar akan semakin baik karena dari sisi proteksi akan tetap memberikan perlindungan,” ujar Prof. Widya. Namun ia juga menegaskan bahwa vaksin produksi lokal dari masterseed lokal yang saat ini beredar juga mempunyai kualitas hasil yang berbeda. “Dengan satu masterseed saja bila diproduksi di pabrik yang berbeda hasilnya akan berbeda karena berkaitan dengan preparasi dan pemilihan adjuvant yang digunakan,” jelas Prof. Widya.
Prof. Widya melanjutkan, upaya vaksinasi AI dengan vaksin konvensional ini masih dinilai sebagai langkah terbaik karena mampu menginduksi kekebalan seluler. Namun ke depan juga perlu dipertimbangkan untuk penggunaan vaksin baru yang jauh lebih aman dalam proses produksinya, misalnya vaksin reverse genetik (PRG) dengan mengedepankan kehati-hatian.
Sementara itu Prof. Mahardika dari paparannya yang merupakan hasil kerjasama riset antara Universitas Udayana dan PT. Medion menyimpulkan bahwa saat ini telah terjadi pemasukan baru virus AI clade 2.3.2. Sementara clade 2.1.3 masih bersirkulasi dan dominan pada peternakan ayam di Indonesia. Prof. Mahardika menjelaskan bahwa clade 2.3.2 mempunyai ciri molekuler virus unggas. Oleh karenanya AI pada ayam dan bebek bisa disebabkan oleh clade 2.1.3 dan/atau clade 2.3.2. Di mana clade 2.3.2 mempunyai struktur antigenik yang agak berbeda dengan clade 2.1.3. Sementara vaksin clade 2.3.2 belum tersedia peternak disarankan menggunakan vaksin clade 2.1.3.
Prof. Widya Asmara juga menambahkan untuk bisa memberikan perlindungan terhadap 2 clade virus yang ada ini, ada baiknya dibuat vaksin cocktail yang terdiri dari campuran vaksin clade 2.1.3 dan 2.3.2. “Karena secara protektifitas bisa dibilang cukup baik dan tidak ada masalah,” ujar Prof. Widya. Pada akhir presentasinya Prof. Widya menyimpulkan bahwa vaksinasi yang baik seyogyanya memakai vaksin dengan seed virus prevalens di lapangan, atau yang imunogenik protektif terhadap strain prevalens. “Selain itu, sebelum tersedianya vaksin baru, vaksin yang lama masih bisa dipakai, meskipun perlindungan tidak 100%, (lihat prinsip-prinsip vaksinologi). Upaya vaksinasi harus diperkuat dengan langkah Biosekuritas, Surveilens dan perbaikan sistem peternakan,” jelas Prof. Widya Asmara.
Upaya Pemerintah
Menurut Drh. Azhar upaya Pemerintah yang terus dilakukan saat ini adalah segera mengendalikan penyakit AI yang menyerang bebek/unggas air, yakni menurunkan kasusnya mencegah penyebarannya, memulihkan populasi dan produksinya. Selanjutnya mencegah agar tidak menyerang ke peternakan ayam komersial, guna meminimalisir risiko timbulnya dampak kerugian ekonomis yang sangat tinggi bagi industri perunggasan nasional.
Drh. Azhar melanjutkan gejala klinis pada bebek tertular AI yang dilaporkan antara lain tortikolis (leher terputar), kejang-kejang, inkoordinasi, kesulitan berdiri, nafsu makan turun, mata keputihan. Pada bebek dewasa terjadi penurunan produksi telur. Sementara pada bebek anakan/muda terjadi kematian cukup tinggi : rata-rata 39,3% dari populasi farm atau sekitar 0,5 % dari populasi wilayah. Virus ini diketahui juga menyerang bebek manila (entog) dan ayam kampung, yang dipelihara sekandang dengan bebek tertular di lokasi kasus AI.
Sebelumnya diketahui virus AI clade 2.3.2 ini telah beredar di Bhutan, Nepal, India, Bangladesh, Myanmar, Laos, Jepang, Hongkong, Mongolia, Korea, Cina, Vietnam dan baru pada tahun 2012 kemarin mulai diketahui muncul di Indonesia, sehingga bisa dipastikan virus ini muncul akibat introduksi dari luar bukan merupakan hasil mutasi seperti yang selama ini diduga.
Ia juga melanjutkan bahwa prioritas strategi pengendalian AI pada bebek/unggas yang kasusnya tinggi saat ini untuk jangka pendek (Januari-April 2013) adalah Depopulasi dan Kompensasi, Pengawasan lalu-lintas, Biosekuriti, dan Vaksinasi. Untuk upaya vaksinasi sesuai dengan SE. Dirkeswan Tgl. 8 Januari 2013 tentang distribusi vaksin AI menggunakan stok APBN sebanyak 360.000 dosis. Sementara untuk jangka menengah (April-Desember 2013) adalah Restrukturisasi Perunggasan, Public Awareness dan regulasi Peraturan Perundangan.
Seminar ini disponsori oleh PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Biotek Indonesia, PT. Pfizer Animal Health Indonesia, PT. Trouw Nutrition Indonesia, PT. Sanbe Farma, PT. IPB Shigeta, PT. Medion, dll.
Artikel terkait: