Seandainya, pullet sampai dengan umur 23 minggu yang hasil produksinya sudah bisa untuk beli pakan dan biaya operasional, peternak sudah tidak merogoh kantong lagi, harganya Rp 70.000/ekor. Nanti pada umur 81 minggu, saat diafkir harganya Rp 17.500/kg x 1,9 kg/ekor = Rp 33.250 x sisa hidup 85% = Rp 28.262/ekor, netto.
Selisih beban = Rp 70.000 – Rp 28.262 = Rp 41.738. Bila performans Hen House (H.H) didapat 20 kg telur/ekor, maka nilai penyusutan ayam petelur = Rp 41.738 : 20 kg telur = Rp 2.087/kg telur.
Jadi, tiap kg telur yang dijual oleh peternak harus disisihkan senilai Rp 2.087/kg telur untuk mengganti pullet yang akan datang. Tidak main-main.
Coba kita hitung, bila peternak punya ayam petelur 10.000 ekor dengan produksi rata-rata 520 kg/hari, maka sang peternak harus menyisihkan beban biaya penyusutan senilai Rp 1.085.240/hari = Rp 32.557.200/bulan x 15 bulan = Rp 488.358.000/periode.
Anehnya, ternyata bila dibelikan pullet umur 23 minggu dengan harga sama Rp 70.000/ekor, hanya dapat 6.976 ekor. Artinya, si peternak masih harus menyisihkan sebagian keuntungannya untuk menambah biaya beli pullet supaya dapat 10.000 ekor.
Pertanyaannya, bagaimana menekan beban biaya penyusutan ayam petelur?
1. Cetak pullet dengan biaya seefisien mungkin supaya harga pullet kurang dari Rp 70.000. Dengan catatan, tanpa mengorbankan performans-nya: daya hidup tinggi (95% dari DOC), bobot badan sesuai standar, keseragaman 85% dan dalam kondisi sehat. Kalau pullet-nya beli, jangan salah pilih, teliti sebelum membeli (memang gampang teorinya);
2. Deplesi selama masa produksi sampai dengan 81 minggu maksimum 10%;
3. Performance produksi seperiode harus tinggi, Hen House (H.H) sampai dengan umur 81 minggu bisa dapat 21 kg/ekor;
Bila mampu memperbesar faktor pembagi, maka bisa dapat penghematan antara 10-20%. RUUUAAARRR BIASA.
Silakan bila ada yang mau menambahi, koreksi atau menyanggah. Saya menghitungnya pakai kalkulator merk dalam negeri. Siapa tahu dengan dihitung pakai kalkulator merk luar negeri jadi hemat.