Usaha peternakan ayam akhir‑akhir ini mulai sering dituding sebagai usaha yang ikut mencemari lingkungan. Oleh karena itu, agar peternakan ayam tersebut merupakan suatu usaha yang berwawasan lingkungan dan efisien, maka tatalaksana pemeliharaan, perkandangan, dan penanganan limbahnya harus selalu diperhatikan. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian telah menyadari hal tersebut dengan mengeluarkan peraturan menteri melalui SK Mentan No. 237/1991 dan SK Mentan No. 752/1994, yang menyatakan bahwa usaha peternakan dengan populasi tertentu perlu dilengkapi dengan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Untuk usaha peternakan ayam ras pedaging, yaitu populasi lebih dari 15.000 ekor per siklus terletak dalam satu lokasi, sedangkan untuk ayam petelur, populasi lebih dari 10.000 ekor induk terletak dalam satu hamparan lokasi (DEPTAN, 1991; DEPTAN, 1994).
Dalam kasus pencemaran lingkungan oleh peternakan ayam, yang menjadi pemicu permasalahan sebenarnya sebenarnya akibat dari pemukiman yang terus berkembang. Pada awal pembangunan, peternakan ayam didirikan jauh dari pemukiman penduduk namun lama kelamaan di sekitar areal petemakan tersebut menjadi pemukiman. Hal tersebut menjadi soal karena perkembangan dan rencana tataruang yang tidak konsisten (INFOVET, 1996). Untuk itu. perlu suatu perbaikan sistem pemanfaatan lahan yang sesuai dengan peruntukannya. Dalam hal ini pemerintah telah membuat kebijakan penggunaan suatu areal atau kawasan usaha peternakan (KUNAK) agar tidak saling mengganggu antara peternakan dan pemukiman. Sudah tentu kawasan tersebut juga harus senantiasa memelihara lingkungannya, antara lain dengan melakukan pengelolaan limbah serta pemantauan lingkungan secara terus menerus.
DAMPAK BAU KOTORAN AYAM TERHADAP LINGKUNGAN
Seperti disebutkan sebelumnya, dampak dari usaha peternakan ayam terhadap lingkungan sekitar terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran ayam. Bau tersebut berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi dan gas hidrogen sulfida, (H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil. Untuk H2S, kadar 0,47 mg/l atau dalam konsentrasi part per million (ppm) di udara merupakan batas konsentrasi yang masih dapat tercium bau busuk. Untuk amonia, kadar rendah yang dapat terdeteksi baunya adalah 5 ppm. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau ini sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas. Pada konsentrasi amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran pernapasan pada manusia dan hewan itu sendiri (CHARLES DAN HARIONO, 1991). Pada tabel berikut dapat dilihat pengaruh kadar amonia terhadap manusia dan ternak (SETIAWAN, 1996).
Bau kotoran ayam selain berdampak negatif terhadap kesehatan manusia yang tinggal di lingkungan sekitar peternakan, juga berdampak negatif terhadap ternak dan menyebabkan produktifitas ternak menurun. Pengelolaan lingkungan peternakan yang kurang baik dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak itu sendiri, karena gas‑gas tersebut dapat menyebabkan produktifitas ayam menurun, sedangkan biaya kesehatan semakin meningkat, yang menyebabkan keuntungan peternak menipis