*Jakarta. Hampir semua orang menyukai makanan cepat saji terutama ayam gorengnya yang renyah dan besar. Tapi masyarakat sebaiknya mulai membatasi diri dan berhati-hati, karena ayam cepat saji yang dijual bisa mengandung antibiotik.
“Makanan cepat saji seperti ayamnya itu dikasih antibiotik sebagai growth promotornya,” ujar Prof. Iwan Dwi Prahasto dalam acara jumpa pers seminar ‘Antimicrobial Resistance-Containment and Prevention’ di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (7/4/2011).
Prof. Iwan menuturkan sekitar 20-25 persen antibiotik digunakan untuk binatang seperti ayam yang berfungsi sebagai growth promotor dan antibiotik ini juga terdapat di dalam telur ayam. Padahal antibiotik adalah salah satu jenis obat yang digunakan untuk memerangi penyakit akibat bakteri.
“Jadi kalau seseorang makan ayam maka ia dengan tidak sadar mengonsumsi antibiotik secara gratis. Padahal penggunaan antibiotik untuk binatang ini tidak relevan,” ujar Prof. Iwan yang merupakan Guru Besar Farmakologi FK UGM ini.
Antibiotik ini tidak hanya berbahaya bagi binatang tersebut tapi juga pada orang yang makan daging atau telur hewan ternak yang diberi pakan antibiotik. Kondisi ini bisa memicu terjadinya resistensi terhadap antibiotik, karena semakin sering seseorang terpapar antibiotik maka akan semakin cepat pula terjadinya resistensi.
“Kalau tidak diperlukan maka antibiotik ini akan mengganggu bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia dan bisa menyebabkan bakteri baik ini berubah menjadi bakteri yang menyebabkan penyakit, sehingga orang tersebut menjadi gampang sakit,” ungkapnya.
Setiap kali seseorang mengonsumsi antibiotik, maka bakteri yang sensitif akan terbunuh dan bakteri yang kebal akan terus hidup, tumbuh dan berkembang biak. Penggunaan antibiotik yang berulang-ulang dan tidak tepat adalah penyebab utama peningkatan jumlah bekteri yang kebal terhadap antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat bisa menyebabkan terjadinya kekebalan pada kuman sehingga nantinya membutuhkan antibiotik satu tingkat di atasnya yang tentu saja memiliki efek toksisitas yang lebih tinggi.
Resistensi antibiotik meningkat pesat di seluruh dunia dalam dekade terakhir ini, dan kemanjuran obat-obatan semakin tidak efektif lagi bahkan untuk bakteri yang paling ganas sekalipun. Pada tahun 2006, negara Uni Eropa melarang penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan dan larangan serupa akan dilaksanakan di Korea Selatan tahun depan. Juli 2008, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika memerintahkan penghentian penggunaan label-ekstra cephalosporins pada ternak dan industri unggas karena beresiko bagi kesehatan manusia.
Juga pada 2008, Departemen Kesehatan Kanada, yang mana tidak menanggapi permintaan sesuai batas waktu, memperkenalkan label tidak mengikat paket ceftiofur yang memperingatkan penggunaan tanpa label. Hal ini akan mendorong penciptaan bahan-bahan baru dari mikroba untuk menggantikannya. Bagaimana Indonesia?
*Diadaptasi dar http://www.detikhealth.com